Identitas Buku:
Judul buku: Mentalitet Korea Jalan Kesatria
Penulis: Puthut EA
Penerbit: Buku Mojok
Tahun terbit: Cetakan Pertama, Maret 2024
ISBN: 978-623-8463-03-9
Tebal halaman: 114 Halaman
Pendahuluan:
Dalam kultur Jawa istilah “Korea” mengacu pada orang-orang dari kelas sosial menengah dan kelas sosial bawah yang berani dan nekat, serta punya banyak cara untuk bertahan hidup. Para Korea ogah bertahan di jurang kemiskinan sehingga kemauannya hanya satu yakni melenting ke lapisan atas.
Mengapa demikian? Karena Para Korea tidak suka menyalahkan keadaan. Ia menerima nasibnya dalam kondisi apapun. Dengan kondisi tersebut ia harus tahu apa yang harus diperbaiki dan dicapai.
Buku ini menceritakan perjalanan Komandan Pacul dalam upaya melenting, juga filosofi korea ala dirinya yang kondang baru-baru ini. Kita yang masih berjuang perlu untuk menanamkan mentalitet ini agar tidak gampang patah saat menghadapi tantangan. Para Korea harus punya militansi tanpa batas!
Isi:
Buku ini adalah buku bacaan yang ringan dan menghibur. Terdapat banyak gambar ilustrasi yang akan memepermudah kamu dalam mencerna istilah-istilah yang ada pada buku ini. Isi buku ini terdiri dari tujuh bab yang akan diringkas kedalam beberapa paragraf di bawah.
Bambang Wuryanto atau yang akrab di kenal dengan Bambang Pacul atau Komandan Pacul. Pak Pacul adalah seorang politisi yang cukup disegani, sosok ini disebut sebagai salah satu jagoan tempur darat di PDIP. Dengan gayanya yang rileks, penuh humor, tetapi juga berbobot, termasuk memegang teguh beberapa ajaran penting Jawa menjadikan Pak Bambang belakangan menjadi sosok yang digandrungi kalangan anak muda.
Bab I: Dari pacul menjadi komandan
Pak Bambang telah banyak melewati perjalanan hidup sebelum sampai pada titik ini yang dipenuhi dengan nilai-nilai yang mendalam. Nilai itu bahkan bisa ditemukan dalam sapaan akrabnya “Pacul”. Bambang Pacul adalah nama yang ia sandang sedari remaja, nama tersebut karena latar belakang di desa. Pacul atau cangkul merujuk latarbelakang keluarga Komandan Pacul, terutama sang kakek yang merupakan kalangan petani.
Sebenarnya juga julukan “Pacul” berkaitan dengan hal-hal filosofis. Dalam kultur Jawa Pacul memiliki filosofi yang cukup mendalam. Pacul merupakan sebuah akronim dari Papat sing ora kena ucul (empat hal yang tidak boleh terlepas). Maksudnya, dalam hidup manusia memiliki empat pegangan yang tidak boleh dilepas. Yakni Doran (gagang pacul), Tandhing (ganjal pacul), Bawak (lempeng pacul), dan Langkir (ujung mata pacul).
Penjabaran dari empat bagian tersebut pertama adalah Doran, ia merupakan akronim dari tansah dedonga ing pangeran (senantiasa berdoa pada tuhan).lalu Bawak, ia merupakan kependekan dari obahing awak (gerak tubuh). Kemudian Tadhing, yang berisi pesan agar manusia berdiskusi, berdialog, dan mendengarkan. Terakhir adalah Langkir, yang berisi pesan agar manusia memiliki pikiran yang tajam.
Maksud dari semua filosofi di atas ialah kita dapat belajar dari setiap bagian pacul, manusia harus bergerak atau bekerja, namun tidak sekadar bekerja, manusia juga harus melengkapinya dengan doa, dialog atau diskusi, dan harus memiliki perhitungan yang matang agar tepat sasaran.
Bab II: Mentalitet Korea
Konon, istilah Korea terkait dengan orang-orang Korea yang menjadi pasukan Jepang. Pasukan korea merupakan simbol dari mentalitas Tangguh. Pasukan korea memang tidak segagah pasukan Jepang. Perawakannya biasa saja. Namun militansi mereka tidak boleh diragukan. Militansi inilah yang diperlukan untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi.
Dalam kultur Jawa istilah Korea adalahmengacu pada orang-orang dari kelas sosial menengah dan kelas sosial bawah. Singkatnya “Korea adalah sebutan bagi orang-orang dengan daya juang yang luar biasa yang berusaha keluar dari belenggu kemiskinan”.
Bab III: Korea-korea melentinglah!
Korea-korea melentinglah! Adalah pesan yang sering terlontar dari mulut Pak Bambang di banyak kesempatan. Sebab ia tak ingin para Korea terus-menerus apalagi sampai mati dalam jurang kesengsaraan. Untuk mencapai lapisan atas para korea harus “Melenting” karena kemiskinan adalah jurang yang amat dalam sehingga dengan melompat saja ia tak akan cukup. Para Korea harus melenting: melompat secara eksponensial.
Temukan galah untuk melenting! Untuk memudahkan melenting para Korea membutuhkan galah. Sebelum mencari galah seseorang harus mencari tahu dulu siapa atau calon galahnya. Pada saat itu Pak Pacul memakai kaidah Asah, Asih, dan Asuh. Asah yakni proses mengasah pikiran dengan mencari tahu dan mempelajari secara detail. Asih yakni infiltrasi pikiran berkaitan dengan empati. Dan Asuh yakni upaya mendukung satu sama lain.
Sebelum menentukan galah, para korea harus terlebih dahulu mengukur diri sendiri. Keinginan apa yang mau diraih. Ingin memiliki kekuatan? Masuklah partai politik. Ingin kepintaran? Tekunlah dalam pendidikan. Ingin kekayaan? Belajarlah kiat-kiat sukses dan kaya.
Bab IV: Jalan ksatria
Untuk menjadi ksatria seseorang harus memenuhi lima angon-angone (syarat) ksatria. Yakni Curiga (senjata), Turangga (kuda), Wisma (rumah), Wanita (perempuan), dan Kukila (burung). Urutan pertama Curiga, ia adalah senjata yang didapat setelah pertapaan maknanya bahwa pertapaan itu seperti belajar, kemampuan adalah hasil dari pembelajaran. Lalu Turangga, ini adalah knowledge maksudnya jika kamu mengendarai kuda maka jangkauan penglihatanmu akan lebih luas. Kemudian Wisma, ini adalah rumah istirahat, seorang ksatria haram pergi kerumah yang lain selain rumah sendiri. Kemudian Wanita, ia adalah penyemangat ketika para ksatria sedang Lelah. Yang terakhir Kukila,ia adalah level ketika ksatria bisa berkomunikasi dengan makhluk lainnya.
Bab V: Memilih pendamping
Korea yang sedang memilih jalan ksatria janganlah asal memilih pasangan atau pendamping hidup. Terdapat teknik yang dapat digunakan dalam memilih pasangan hidup yang akan sangat berpengaruh pada capaian-capaian masa depan para ksatria.
Terdapat tiga karakter yang menjadi pertimbangan, apakah kita seseorang dengan need of power tinggi (pengaruh besar), need of achievement tinggi (berprestasi), atau need of affiliation tinggi (berafiliasi). Dengan tiga karakter tersebut akan dihadapkan dengan tiga tipe Wanita sebagai calon pendamping, yakni Wara Sembada, Larasati, atau Srikandi. Ketiganya adalah karakter dalam perwayangan.
Jika ksatria bertipe need of power maka wanita yang pas menjadi pendampingnya bertipe Wara Sembada. Sebab ia memiliki karakteristik mengurus dan mengabdi pada suami. Berikutnya, ksatria bertipe need of achivement maka wanita yang pas menjadi pendampingnya bertipe Larasati. Sebab ia memiliki karakteristik mendorong dan memanajemen suami. Sedangkan ksatria bertipe need of affiliation maka wanita yang pas menjadi pendampingnya bertipe Srikandi. Sebab ia memiliki karakteristik ingin didepan dan selalu ingin mengatur.
Bab VI: Memayu hayuning bawana
Para korea haruslah melenting. Namun, jangan sampai upaya untuk melenting ia lupa untuk menikmati hidup. Sebab hidup itu indah dan layak untuk dinikmati. Pak Pacul berpesan agar para Korea mengamalkan filosofi Jawa Memayu hayuning bawana. Sebuah filosofi yang harus dipegang para korea agar memancarkan kebaikan dan harmoni. Bukan hanya untuk diri sendiri namun juga untuk lingkungan sekitar.
Setidaknya para Korea harus Memayu hayuning bawana pada tiga tingkatan ini yakni Bawana Alit (keluarga inti dirumah), Bawana Tengah (saudara dan teman-teman), dan Bawana Ageng (galah).
Bab VII: Memasuki babak pangkur
Pak Pacul memegang filosofi Jawa bahwa perjalanan hidup manusia adalah sebagaimana yang tergambar dalam Tembang Macapat: sastra lisan Jawa yang konon sudah ada sejak Zaman Wali Songo. Tembang Macapat tersebut terdiri dari sebelas proses perjalanan hidup manusia. Sebelas proses tersebut dimulai dari maskumambang (janin), mijil (terlahir), kinanthi (dituntun), sinom (muda), asmaradhana (api asmara), gambuh (cocok), dandhang gula (manis seperti gula), durma (disegani), pangkur (menarik diri), megatruh (sakarotul maut), dan terakhir pocung (kematian).
Sebelum manusia memasuki proses megatruh hingga pocung, ia seharusnya berada dalam situasi pangkur: pelan-pelan melepas keduniawian, menyadari bahwa hal-hal yang bersifat duniawi tidak akan dibawa mati.